Menkes Budi Gunadi Sadikin (Foto: Andhika Prasetia/detikHealth) |
MEDIAJURNALIS - Jakarta—Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa biaya obat-obatan di Indonesia sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Di Republik Indonesia, harga obat yang tinggi tidak disebabkan oleh ajak.
Menkes menyatakan, "Tapi biaya pemasaran dan distribusi mahal. Untuk mengatasinya, pemerintah akan membuat sistem yang lebih baik untuk mengatasi masalah ini."
Akibatnya, Menkes menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan tiga tindakan konkret untuk menyelesaikan masalah obat yang masih menjadi masalah besar di Indonesia. Langkah pertama adalah memastikan bahwa obat tersedia. Karena pandemi COVID-19, Indonesia menghadapi tantangan dalam mendapatkan obat-obatan dan alat kesehatan, khususnya BMHP (Bahan Medis Habis Pakai).
Hal ini menunjukkan betapa tidak tangguhnya sistem kefarmasian dan alat kesehatan Indonesia.
Pemerintah mendorong produksi obat dan alat kesehatan di dalam negeri untuk memastikan ketersediaan. Langkah ini akan membantu perekonomian dan sektor kesehatan dalam menghadapi pandemi berikutnya.
Kami berhasil melakukan fraksionasi plasma darah dan berharap dapat memulai produksi albumin di Indonesia mulai tahun 2026. Itu sebabnya, Menkes menyatakan bahwa memastikan ketersediaan sangat penting untuk melindungi masyarakat dari pandemi selanjutnya.
Kedua, akses obat inovatif. Pemerintah ingin meningkatkan akses terhadap obat inovatif selain ketersediaannya. Ketiga, Menkes menegaskan bahwa pemerintah terus bekerja untuk meningkatkan efisiensi dan mempercepat proses registrasi obat dan persetujuan uji klinik.
Menkes menyatakan, "Kita harus menyederhanakan proses perizinan uji klinik dan registrasi obat, jangan terlalu lama, jangan terlalu birokratis. Akses obat kita masih rendah."
Menkes menyatakan bahwa untuk mencapai tiga tujuan utama ini, kolaborasi antara pemerintah, industri farmasi, penyedia layanan kesehatan, dan tenaga kesehatan akan terus diperkuat.